Mengenal Penyakit Yellow Fever
Vaksinasi yellow fever merupakan salah satu vaksin yang direkomendasikan WHO dan Kementerian Kesehatan RI dalam perjalanan Internasional. Meskipun penyakit ini belum pernah ada di Indonesia, namun kemunculan penyakit ini harus selalu diwaspadai. Penyakit ini diperkirakan berasal dari benua Afrika, kemudian menyebar ke Amerika Selatan melalui perdagangan budak pada abad ke 16. Pada abad ke-19, yellow fever dianggap salah satu penyakit menular paling berbahaya di dunia. Yellow fever endemis di 31 negara di benua Afrika dan 13 negara di Amerika latin. WHO memperkirakan bahwa terdapat kasus yellow fever sekitar 200.000 orang dengan 30.000 kematian setiap tahunnya di daerah berpenduduk tanpa vaksinasi, sekitar 90% infeksi terjadi di Afrika.
Yellow fever (demam kuning) adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk yang terinfeksi virus (terutama nyamuk aedes aegypti, tetapi dapat pula oleh spesies lain) ke inang atau host dalam hal ini adalah manusia dan primata (monyet) yang menyebabkan kerusakan pada saluran hati, ginjal, jantung dan sistem pencernaan. Penyakit ini dapat menyebabkan berbagai gejala klinis seperti demam, mual, nyeri dan dapat berlanjut ke fase beracun/toksik yang terjadi setelah itu, ditandai dengan kerusakan hati dengan jaundis/ikterik atau kulit menjadi berwarna kuning, gagal ginjal, meningitis dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Kata yellow/kuning diambil dari keadaan beberapa pasiennya yang menjadi jaundis/ikterik yaitu perubahan warna pada kulit dan selaput lendir yang menjadi kuning, sedangkan pada bagian konjungtiva mata berwarna merah. Karena penyakit ini menyebabkan kecenderungan pendarahan yang meningkat (diatesis pendarahan), yellow fever termasuk dalam kelompok demam haemorhagik atau kelompok demam berdarah. Pada penderita demam kuning juga dapat terjadi perdarahan antara lain melalui mulut, hidung, gusi, maupun BAB (melena). Masa inkubasi yellow fever 3 6 hari. Secara umum angka kematiannya sekitar 5 %, tetapi dapat mencapai 20% - 40% pada wabah tertentu.
Ada tiga siklus penularan yellow fever yaitu tipe sylvatic yellow fever, demam kuning intermediet, dan demam kuning urban (urban yellow fever). Tipe sylvatic  (jungle yellow fever) ini hanya terdapat pada hutan hujan tropis dan terjadi ketika nyamuk menggigit monyet terinfeksi virus yellow fever. Setelah terinfeksi, nyamuk ini biasanya akan menggigit monyet lain, namun dalam kasus tertentu, nyamuk ini bisa juga menggigit manusia, terutama manusia yang memasuki hutan. Tipe intermediet hanya ditemukan dipadang sabanah Afrika. Infeksi bisa terjadi pada monyet dan host manusia yang tinggal atau bekerja di daerah perbatasan hutan. Dalam siklus ini, virus dapat ditularkan dari monyet ke manusia atau dari manusia ke manusia melalui nyamuk. Ini adalah jenis yang paling umum dari wabah di Afrika. Tipe demam kuning urban (urban yellow fever). Siklus perkotaan (urban) ini melibatkan penularan virus antar manusia melalui nyamuk, terutama aedes aegypti. Jenis transmisi ini sangat rentan menyebabkan epidemi penyakit demam kuning dalam area yang lebih luas.
Patofisiologi yellow fever pada dasarnya serupa dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Perbedaan utamanya terletak pada lebih hepatotrofiknya (lebih merusak hati) virus demam kuning dibanding virus dengue, sehingga gejala klinis yang berkaitan dengan fungsi hepar (hati) lebih menonjol. Seperti DBD,yellow fever mempunyai sifat bifasik yaitu demam dengan 2 episode yang berbeda, demam pertama dengan durasi 2-3 hari, kemudian turun sampai dengan hari ke-5, kemudian demam lagi bahkan kenaikan suhu bisa lebih tinggi periode pertama. Diagnosis awal sering dibuat berdasarkan tanda-tanda klinis pasien dan gejala, dan anamnesis riwayat perjalanan (kapan dan di mana), dan kegiatan terkait perjalanan terutama pada daerah-daerah endemi dan juga riwayat vaksinasi dan penyakit lainnya.
Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukopeni (jumlah sel darah putih rendah), trombositopeni (jumlah trombosit yang rendah), mungkin ditemukan kenaikan hematokrit, waktu protombrin yang memanjang dan bila terjadi KID (Koagulasi Intravaskuler Deseminata) ditemukan kelainan pada fibrinogen dan produk degradasi fibrinogen. Enzim transaminase, fosfatase alkali, gamma-glutamyl transfarase, bilirubin direct dan indirect, BUN dan kreatin meningkat kadarnya. Kenaikan yang bermakna dari transaminase dan bilirubin pada stadium awal penyakit merupakan petanda akan buruknya penyakit. Diagnosa demam kuning ditegakkan antara lain dengan isolasi virus, kultur sel, ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), atau dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).
Tidak ada pengobatan yang spesifik pada yellow fever, sebagian besar pasien yang mengalami gejala yellow fever yang ringan akan hilang dengan sendirinya dalam waktu tiga sampai empat hari. Terapi suportif ditujukan langsung untuk memperbaiki kehilangan cairan dan mempertahankan stabilitas hemodinamik, misalnya dengan pemberian oksigen, pemberian cairan intravena untuk dehidrasi dan intubasi endotrakeal (penempatan tabung pernapasan) dan ventilasi mekanik dalam kasus gangguan pernapasan. Pemberian vitamin K dan Fresh Frozen Plasma (FFP) disarankan untuk menangani gangguan koagulasi. Bila terjadi gagal ginjal akut maka dialisis dapat ditempuh. Pada pengobatan hindari pemakaian obat-obatan tertentu, seperti aspirin atau obat anti-inflamasi lainnya (misalnya ibuprofen, naproxen), yang dapat meningkatkan risiko perdarahan. Prognosis untuk individu yang mengalami yellow fever yang ringan umumnya sangat baik. Namun, bagi pasien yang mengalami intoksikasi/keracunan yellow fever, tingkat fatalitas kasus berkisar dari 15% sampai 50%. Bayi dan orang tua yang berusia lebih dari 50 tahun cenderung memiliki penyakit lebih parah dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Selanjutnya, kerentanan host dan virulensi dari strain virus yang menginfeksi juga dapat mempengaruhi tingkat kematian. Jika dengan pengobatan yang baik pasien dapat sembuh dari penyakit yellow fever, biasanya akan mengalami gejala kelemahan dan kelelahan yang dapat berlangsung beberapa bulan dan umumnya pasien yang telah sembuh dari infeksi virus yellow fever akan memiliki kekebalan seumur hidup dari penyakit ini dan biasanya tidak ada kerusakan organ yang tersisa.
Pencegahan terhadap yellow fever yang dapat dilakukan antara lain dengan pengontrolan vektor, mencegah gigitan nyamuk seperti tidur memakai kelambu, ataupun penggunaan repelents (penolak nyamuk) pada kulit. Selain itu juga mengantisipasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan memberantas nyamuk di dalam rumah maupun di lingkungan sekitar. Hal yang perlu dilakukan antara lain secara rutin menguras air di bak mandi maupun tempat-tempat penampungan air lainnya yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak. Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah yellow fever. Vaksin ini tersedia untuk orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 9 bulan. Vaksinasi dengan virus yang dilemahkan sangat efektif memberikan kekebalan selama 10 tahun. WHO merekomendasikan kepada pelancong, crew kapal, maupun pesawat untuk divaksinasi yellow fever sebelum berkunjung ke daerah endemis dan revaksinasi dianjurkan setiap 10 tahun. Dan sebagian besar negara-negara didunia mewajibkan semua pengunjung yang datang dari daerah endemis demam kuning untuk menunjukkan ICV (International Certificate of Vaccination) sebagai bukti bahwa mereka telah memperoleh vaksinasiyellow fever. (Ariyanto, SKM)
Vaksinasi yellow fever; paling efektif mencegah penyakit yellow fever, dibuktikan dengan diterbitkannya ICV oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan